Cerpen Dan Tak Kan Mati


DAN TAK KAN MATI
Oleh : Riffa’i Rifan D.
Seperti hari-hari biasanya, aku berjalan sendirian menuju kampus yang berjarak kurang lebih satu kilometer dari kosanku. Tapi suasana pagi itu berbeda dari hari-hari biasanya, nampak agak lengang dari pejalan kaki, biasanya aku menemui rekan sesama mahasiswa di jalanan ini.
“Yah mungkin mereka kesiangan karena semalam habis nonton bareng di kosan sebelah”
Aku terus saja berjalan dengan langkahku yg selalu ku seret yang sudah menjadi ciri khasku, dan juga bersiul kecil dengan mengantongi kedua tanganku, udah kayak orang tanpa beban gitu. Padahal tugas dan ujian sudah menumpuk.

Setelah menyeberang jalan raya dan berjalan melewati taman kampus, langkahku terhenti karena melihat dua orang yang memakai pakaian seragam yang sama dengan yang aku kenakan sedang di kejar oleh gerombolan entah preman atau apalah aku juga tidak tahu.

Aku yang sejatinya penakaut dan tak pernah baku hantam hanya terdiam melihat kedua orang tadi yang kemudian menghentikan pelarian mereka dan menerima pertarungan yang menurutku lebih tepat dikatakan pengeroyokan. Pukul sana, tangkis sini, tendang situ, dan aku pun mulai menghitung. Satu, dua, empat, tujuh, dan sembilan orang terkapar dengan lebam bekas pendaratan tangan dan kaki dari kedua orang berseragam tadi. Aku hanya terdiam tanpa kata ketika kedua orang itu berjalan melewatiku.

“mending pergi deh, sebelum tejadi yang tidak-tidak”

Langkah lebar sedikit berlari aku meninggalkan taman bergegas ke kampus. Seusai berkonsultasi masalah skripsiku pada dosen, perut sudah mulai tak bersahabat, kantin menjadi sasaran utama penyerbuanku berikutnya. Sepiring nasi dan ayam goreng renyah menjadi pilihanku, di temani segelas es teh menambah kenikmatan makan siangku. Belum sempat aku melahap makananku, mataku tertuju ke jendela kaca kantin, nampak jelas kedua orang yang tadi pagi bertarung dihadapanku. Tapi pandanganku langsung berubah arah ketika sebuah tangan menghentak keras mejaku. Roy, si brandalan kampus yang hobinya ngerjain aku abis-abisan, dari yang diiket di tiang bendera ampe di kurung di toilet bareng sama ular. Dan sekarang sebotol saus tomat isinya berpindah keatas kepalaku. Dan tiba-tibanya lagi ada sebuah piring melayang.

“woy! Bajingan! Siapa yang berani nglem...”
“gue.(memotong) Gue yang nglempar. Mau apa loe?”

Amarah Roy tersulut oleh dua orang berseragam tadi. Aku yang takut, kagum dan juga heran dengan kedua orang tersebut hanya terdiam dan bertanya-tanya, siapakah mereka, sepertinya aku belum pernah melihatnya di kampus.

Roy yang emosi segera melontarkan pukulan dengan raut yang mengerikan hingga akhirnya ia sendiri yang tersungkur karena pukulannya segera di balikan dan dibanting oleh salah satu dari kedua orang tadi. Mungkin itu akhir dari masa kejayaan Roy, karena setelah kejadian itu tidak ada yang takut padanya lagi.

Setelah beberapa hari ku selidiki ternyata kedua orang tadi adalah Joe dan Daniel atau sering dipanggil Dan, termasuk dalam kategori brandalan jalanan dan juga pembuat onar di kalangan preman ataupun sejenisnya. Bisa dibilang mereka premannya para preman, karena mereka selalu melawan hal-hal seperti itu, mereka tergabung dalam suatu kelompok kecil yang belum bisa ku pastikan apakah itu geng atau bukan, tapi yang jelas mereka berdua mulai mendekatiku, kami sering makan bareng dan ngobrol seputar kampus dengan segala intriknya, dari situlah akhirnya aku dikenalkan dengan dua anggota kelompok mereka yang lain, Nico dan Baron, keakrabanku dengan mereka semakin erat dengan diajaknya aku pergi ke club untuk sekedar refreshing. Sesampainya di club bukannya refreshing tapi kami justru diusir dari club yang sebelumnya kami atau tepatnya mereka mengobrak-abrik club itu ketika ada geng musuh yang berada disana. Mengetahui aku yang ketika keributan tadi hanya diam dan ketakutan Dan menanyaiku ketika kami beristirahat di taman. Terbaring bersama memandang langit.

“pernah bertarung?”
“emm sama sekali tidak”
“pernah marah dengan seseorang?”
“sering”
“seperti dengan Roy?”
“ya, bagaimana tidak, hampir tiap hari akau dipermalukan olehnya, bagaikan bencana yang tak kunjung reda ketika aku bertemu dengannya”

Dari situ aku mulai banyak sharing dengan Dan, dia sangat mengerti dengan keadaanku, entah karena dia dulu sepertiku atau apa aku tak tahu. Dan memang petarung hebat, tapi ia bertarung demi teman, bukan kekuasaan. Melewatkan malam bersama teman memang lebih menyenangkan dari pada joget-joget gk jelas di club.

Keesokan harinya ku jalani rutinitasku seperti biasa, tapi di tengah langkahku aku dihadang mobil Nico dan ditarik masuk oleh Joe, mereka hanya berkata jika aku harus menemui Dan.

“ada apa dengan Dan?”
“sudah ikut saja!”

Setibanya di tempat, seorang pria berdiri di dekat ppohon dengan dikerumuni belasan orang berwajah tak menyenangkan. Aku berlari kearahnya.

“apa yang ingin kamu lakukan sekarang?”
“apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa seperti ini?”
“gak usah banyak bacot loe!”

Roy yang tak trima dengan perlakuan Dan waktu di kantin kampus sepertinya ingin balas dendam dengan mengerahkan anak buahnya. Aku, Nico, Joe dan Baron berjajar bak benteng perang siap menghadang melindungi Dan. Roy nampak santai dengan belasan anak buahnya, aku segera melepas ikatan Dan. Roy langsung ambil tindakan dengan mulai menyerang, menghujani kami dengan pukulan dan tendangan diikuti anak buahnya, aku sempat berfikir jika mengalahkan mereka mustahil karena kami hanya berlima, dan satu orang bahkan hampir sekarat tapi tak ada pilihan lain selain melawan. Masih sempat aku terkagum pada Dan, dengan kondisinya yang sudah babak belur itu dia masih bisa bertarung dengan gagah berani membantu kami. Entah berapa pukulan sudah mendarat di wajah ataupun tubuhku, dan aku juga tak tahu berapa pukulan juga yg sudah ku berikan pada mereka. Yang ku tahu hanya terdengar sirine polisi semakin mendekat. Pertarungan kami berubah menjadi pelarian bagi mereka. Kami segera membawa Dan ke rumah sakit. Tak lama setelah kedatangan kami, seorang wanita menghampiri kami. Nana, cewek manis, dengan lesung pipi berambut bergelombang itu memang sudah lama naksir Dan, tapi perasaannya tak pernah dibalas oleh Dan,karena Dan memang tak pernah memikirkan membuat hubungan, dia hanya ingin pertemanan. Ya mungkin yang memangil polisi ketika kejadian tadi adalah Nana. Ia nampak sangat khawatir dengan Dan, setiap hari ia menunggui Dan di rumah sakit, seakan takut terjadi apa-apa lagi dengan Dan.

Tiga hari berselang, kami sudah berkumpul lagi di kampus dengan segala keisengan kami. Aku tak pernah melihat Roy di wilayah kampus lagi, mungkin mereka sudah dipenjara, atau pergi entah kemana, tapi yang jelas hilangnya Roy membuat suasana kampus lebih tentram.

Hari pertama masuknya Dan menjadi kesempatan emas Nana untuk menunjukan perhatiannya, sehari ini saja pandangan Nana tak pernah lepas dari Dan. Sebenarnya membuatku iri juga diperhatikan cewek secantik dia. Tapi mau bagaimana lagi, baru bagiannya Dan aja.

Malam ini kami akan merayakan kesembuhan Dan di club tempat biasa kami nongkrong.

“bersulang untuk kesembuhan Dan!” triak Nico sambil mengangkat gelasnya.
“untuk keutuhan pertemanan kita!” triak Baron.
“we are friend forever!” triak Dan.

Ku balas senyum tawa mereka dan ku angkat pula gelasku menyetujui perkataan mereka. Menikmati malam bersama mereka ku rasakan bagaikan surga dunia. Tak pernah aku mendapatkan teman yang seperti mereka. Kami menghabiskan malam bersama hingga ku lihat Dan mulai gelisah.

“kenapa loe Dan?”
“gue masih ada janji sama Nana”
“ehem.. ada yang PDKT nih critanya?”
“eh gk usah mikir macem-macem. Gue Cuma mau ngucapin trima kasih buat perhatiannya aja.”
“kalo sampai jadian juga gk papa kok, hahaha”

Aku tak tahu jika selama pembicaraan kami teman-teman yang lain sudah pindah ke teras depan. Aku segera menyusul mereka, sedangkan Dan pergi mengambil mobil di parkiran samping untuk memenuhi janjinya dengan Nana. Baru saja aku membuka pintu depan untuk keluar, segerombolan motor berhenti tepat di depan club. Seorang turun dan memukul Baron yang saat itu berada di dekat jalan. Sontak kami membalas melawan. Dan yang melihat langsung berhenti dan membantu kami, aku tak peduli dengan nyawaku lagi, yang penting aku memenangkan pertarungan ini bersama teman-temanku. Joe terjatuh, Roy mengeluarkan pisaunya dan hendak menghabisi Joe, kuselesaikan mangsaku, ku kejar tangan Roy yang mengayunkan pisaunya kearah dada Joe yang terbaring di tanah. Beberapa saat aku guling-gulingan dengan Roy mempertahankan pisau dengan pertaruhan nyawa, sampai akhirnya Roy terkapar oleh tendangan Baron yang melesat di tengkuknya. Entah karena memang kuat atau memang tak bisa mati, Roy langsung terbangun masih memegang pisau di tangannya, tapi entah siapa incaran berikutnya karena aku sudah di sibukkan dengan musuh yang lain. Pukulan demi pukulan terus ku lancarkan hingga mereka akhirnya menyerah dan pergi meninggalkan kami. Kegembiraan kami muncul karena berhasil memenangkan pertarungan dan mempertahankan keutuhan kelompok kami, meski lebam tak menjadi masalah untuk kami, ku lihat Dan berjalan menuju mobilnya tanpa berkata.

“hey Dan,”

Dia hanya mengacungkan jempolnya dan segera berlalu dengan Lamborgininya.

Selang setengah jam dari pertempuran sengit tadi aku menerima telfon dari Nana.

“ya, hallo,”
“hallo, Dan, Daniel Van..” sambil menangis.
“iya, Dan kenapa?”
“Dan masuk rumah sakit”
“ha? Dimana?”
“intramedika”

Langsung ku tutup telfon dan bergegas menuju rumah sakit. Nana menangis di kursi tunggu dengan tangan bersimpah darah.

“Na, Dan kenapa?ha? kenapa seperti ini?”
“tadi aku menunggunya di caffee hingga ia datang dengan wajah pucat, tapi aku tak begitu memperhatikan itu karena aku sudah agak kesal karena keterlambatannya. Hingga akhirnya ia terjatuh di depanku dengan memegang perutnya yang berlumuran darah. Dan dia hanya berkata maaf ya aku terlambat.”

Dokter keluar dari ruang ICU, dengan wajah tanpa harapan.

“gimana keadaan temen saya dok?”
“kami sudah berusaha semampu kami, tapi Tuhan berkehendak lain”

Seakan tak percaya dengan jawaban itu. Nico langsung mengancam dokter itu tapi di lerai oleh Joe. Nana yang shock mendengar hal itu menangis histeris.

“kenapa kalian tidak menolongnya?ha!” terisak.

Aku hanya diam.

“kenapa?ha? kenapa? Padahal dia selalu menolong kalian!tapi kenapa kalian tidak menolongnya?! Kenapa?!”

Ia terus memarahi kami dan terus terisak hingga ia pingsan karena tak kuat menahan kesedihan. Malam itu suasana menjadi mencekam dengan penuh isakan tangis di sertai hujan deras. Mungkin langitpun merasakan kesedihan kami.

Di hari pemakaman Dan ku bawakan bingkisan yang terbaik. Ku bawakan Roy dengan ku ikat bagai anjing dan ku injak kepalanya di samping makam Dan.

“bajingan ini akan merasakan hal yang sama denganmu Dan. Akan ku kirimkan dia padamu, dan balaslah dendammu dengan tanganmu sendiri”

Tak pernah ku sangka akan secepat ini kau meninggalkan kami. Begitu banyak hal yang ku pelajari dari sosokmu. aku yg dulunya tak lebih dari pecundang kini bangkit dan mampu bertarung layaknya pria.

“DOOOOR!”

Bunyi tembakan senjata api yang teramat jelas ku dengar. Tak hanya ku dengar tapi kurasakan timah panas bersarang di bahu kiriku dan mungkin menembus jantungku. Karena aku bahkan tak merasakan apapun setelah suara itu, aku hanya terjatuh dan melihat wajah-wajah temanku, Nana, Nico, Baron dan juga Joe, tapi Joe kemudian pergi dengan wajah geram tapi entah kemana, dan di susul Baron dan Nico, mungkin mereka mengejar orang yang menembakku. Tapi itu hanya kemungkinan, karena pandanganku perlahan semakin gelap dan akhirnya lenyap.

Kubuka mataku dan kulihat Dan di hadapanku, ku fikir ini mimpi, tapi Dan berkata.

“ternyata kita memang berteman selamanya ya?”
“ha?maksudmu apa Dan?”
“ya buktinya kamu langsung menyusulku kemari”
“kemari?memang ini dimana?”
“di tempat setelah kematian, mungkin”
“jadi maksudmu aku sudah mati juga?”
“ya sepertinya sih seperti itu Van”
“gk,gk,gk,gk mungkin, pasti ini Cuma mimpi?”
“silahkan jika tidak percaya, tapi mari ku ajak kau berkeliling menikmati kenyataan ini bersamaku di sini”

Aku tak percaya jika aku sudah mati. Tapi aku senang bisa bersama dengan Dan tapi aku lebih sedih lagi karena harus meninggalkan orang yang ku sayangi di dunia. Harus apa aku disini?

“tit..tit..tit..tit..”

“bunyi apa itu?”
“Van? Kamu sudah siuman?”
“ha?bukannya aku sudah mati?”
“mati apanya? Kamu itu koma selama tiga minggu! Belum mati”
“tapi Dan..”
“ya memang Dan sudah tiada, ikhlaskanlah agar dia tenang di sana”
“maksudku Dan..”
“iya aku tahu, sudahlah istirahat saja”

Joe memang sok tau, jadi ya sudahlah . biarkan aku saja yang tahu tentang Dan, Dan tetap akan ada di sampingku menemaniku bertarung, bukan membunuh. Pertemanan kan ku jaga, karena aku tak membutuhkan seribu teman yang munafik, jika aku memiliki satu teman sejati. Tapi aku bahkan memiliki empat. Empat orang yang bahkan rela mati demi melindungi pertemanan kami dan yang jelas melindungi janji kami untuk berteman selamanya!

THE END

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sesorah Mengeti Dinten Kamardikan / Pidato Bahasa Jawa Peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2024

Sesorah Pengetan Dinten Kartini / Pidato Bahsa Jawa Peringatan Hari Kartini

Cerpen Cinta "SEBATAS KAKAK DAN ADIK"